Masjid Al Alam Marunda
Menyatu dengan Lingkungannya
Saat magrib tiba, suasana di perkampungan tepi pantai Marunda Pulau yang terletak di sebelah utara Jakarta, tampak lengang. Lampu listrik yang remang-remang mulai menghiasi sekeliling rumah-rumah penduduk yang rata-rata masih sederhana. Sebagianbesar kaum laki- laki dewasa dan anak-anak mengenakan sarung atau celana panjang dan kopiah. Mereka bergegas menuju sebuah masjid yang tidak terlalu besar dengan arsitek sederhana bergaya Betawi, untuk melaksanakan shalat magrib berjamaah. Suasana religius seperti ini terpancar melalui keagungan masjid tua yang menjadi kebanggaan umat Islam di sekitamya, Masjid al-Alam.
Masjid al-Alam yang letaknya tepat di tepi Pantai Marunda, Jakarta, seolah menjadi saksi bisu atas rentetan peristiwa dan perkembangan yang terjadi di sekitarnya, sejak keberadaannya diawal abad ke-17. Waktu yang hampir 400 tahun lamanya itu, jelas membuat masjid tua namun kokoh itu menjadi istimewa, mengingat tidak banyak masjid- masjid tua yang mampu bertahan hingga kini. Masjid al-Alam adalah satu di antara masjid-masjid tua di Jakarta yang mampu membangkitkan rasa keimanan di dada atas kebesaran Allah SWT, Al-Khaliq, sekaligus penguasa alam semesta.
Berbeda dengan keberadaan masjid tua lainnya, terlebih masjid- masjid lain yang bam dibangun, yang terkesan indah dan megah, Masjid al-Alam ini tampak begitu sederhana. Akan tetapi, kesederhanaan ini justru menjadikan daya tarik utama masjid yang konon adalah masjid tertua di Jakarta. Kesan sederhana yang barangkali dimaksudkan untuk menjaga bentuk asli bangunan masjid ini, seperti menyatu dengan suasana sekitar perkampungan pinggir pantai ini.
Masjid Gaib
Jika bertanya siapa tepatnya pendiri masjid bersejarah ini, tidak ada seorang pun yang mampu menjawab, termasuk tokoh masyarakat yang dianggap tahu mengenai seluk-beluk masjid yang letaknya tidak jauh dari rumahnya Si Pitung, tokoh patriotik dari tanah Betawi yang menjadi legenda itu.
“Memang benar tidak satu pun dari kami, bahkan orang-orang tua kami tidak tahu persis siapa pendiri masjid ini,” ujar H. Atit Fauzi, yang sudah menjadi Ketua Masjid al-Alam sejak tahun 1989.
Menurut keterangan H. Atit, masjid yang berdiri dengan empat pilar besar dan kokoh di dalam ini, terkenal dengan sebutan Masjid Gaib.
“Karena proses pembuatannya pun, menurut cerita orang dulu, relatif cepat. Hari inibelum ada esoknya masjid itu sudah berdiri,” tutur Atit.
Teka-teki ini, tambah Atit, bisa terjawab karena tidak lama sebelum masjid itu berdiri, ada beberapa pasukan dari Gunung Giri atau yang terkenal dengan sebutan Fatahillah datang ke tempat itu setelah perang melawan Portugis berhasil dimenangkan pasukan ini.
“Mereka itu bisa saja pendiri masjid ini, mengingat orang dulu itu sakti-sakti. Tapi itu baru dugaan saja,” kata Atit Fauzi, yang rumahnya tidak jauh dari Masjid al-Alam.
Terlepas dari siapa yang mendirikan, pada akhirnya masjid ini , temyata mampu menjadi rahmat yang dilimpahkan Allah SWT kepada masyarakat sekitar Kampung Marunda Pulau ini.
Sejak tahun 70-an, masjid ini sudah menjadi masjid bersubsidi yang dibiayai oleh Pemerintah (Pemda) Jakarta. Segala kebutuhan untuk menjaga agar masjid ini tetap berdiri di tempatnya, telah menjadi tanggungan Pemda, karena masjid ini diangggap sebagai salah satu peninggalan bersejarah yang bernilai tinggi. Dengan demikian, kehidupan masyarakat sekitar masjid pun menjadi lebih diperhatikan.
Masjid yang di dalamnya terdapat empat pilar besar’berwarna putih, sebuah makam kuno seorang kiai yang meninggal hampir dua ratus tahun lalu, serta beberapa makam penduduk sekitar yang letaknya di samping masjid ini, menurut Atit Fauzi akan terus dijaga keaslian bangunannya. “Karena memang itulah yang menjadi daya tarik utama, sesuai dengan komentar yang saya peroleh dari sebagian besar pengunjung yang datang ke masjid ini,” tandas H. Atit Fauzi.