Masjid Jami Al Islam Tanah Abang

Pelopor Khotbah Berbahasa Melayu

masjid jami al islam tanah abangTanah Abang bagi niasyarakat Jakarta mempunyai tempat khusus, terutama buat kaum Betawi sebagai penduduk pribumi kota metropolitan ini. Tanah Abang tempo dulu nyaris tidak jauh berbeda peran dan fungsinya dengan Tanah Abang saat ini, yakni sama-sama sebagai pusat perdagangan dan ekonomi.

Karena menjadi pusat perdagangan, tak pelak Tanah Abang pun menjadi daerah tempat berkumpulnya semua suku bangsa, baik yang berasal dari luar negeri, seperti Cina, Arab dan India, maupun suku dari seluruh pelosok Nusantara. Di tempat inilah terjadi interaksi sosial dan budaya dengan segala akibat baik-buruknya.

Sultan Raja Burhanuddin Syekh al-Masri, seorang bangsawan ulama yang berasal dari Minangkabau, Sumatra Barat, datang ke Betawi pada akhir abad ke-16 M. Tujuannya adalah untuk mengembangkan dakwah Islam. Ia memilih daerah Tanah Abang karena di daerah ini banyak bermukim perantau dari Minangkabau yang umumnya menjadi pedagang.

Ketika itu, di Tanah Abang belum ada masjid yang dianggap strategis dan dekat dengan lokasi pasar. Memang ada satu dua masjid, tetapi letaknya jauh dari lokasi pasar. Dan, ini membuat para pedagang enggan untuk da tang ke masjid.

Melihat kenyataan seperti itu, Sultan Raja Burhanuddin merasa prihatin.
Masyarakat Minang yang ada di kampungnya adalah penganut Islam yang taat, tetapi sesampainya di Betawi, ditambah kesibukan dagangnya, cenderung melupakan ajaran agamanya. Mereka menjadi jauh dari masjid dan dakwah Islam. Dan itu, menurutnya, salah satunya karena tidak adanya sebuah masjid yang letaknya dekat dengan pemukiman dan usaha mereka. Dengan kata lain, ia berpendapat bahwa diperlukan sebuah masjid untuk membina iman dan Islam para pedagang di Tanah Abang ini.

Singkatnya, berkat bantuan banyak pihak, berdirilah sebuah masjid yang kemudian diberi nama Masjid Jami al-lslam pada tahun 1770 M. Lokasi masjid ini sekarang masuk dalam wilayah Kelurahan Petamburan, Kecamatan Tanah Abang, tepatnya di Jalan K.S. Tubun No. 61, Jakarta Pusat.

Dalam perkembangan selanjutnya, kegiatan dakwah di masjid ini dipimpin seorang ulama yang berasal dari Hadhramaut, Yaman Selatan, bemama Habib Usman. Ia dibantu oleh dua orang murid seniomya yang asli Betawi, yaitu Haji Saidi dan Haji Muala.

Setelah Habib Usman wafat maka aktivitas belajar-mengajar di Masjid Jami al-lslam ini dipegang oleh Haji Muala dan kawan-kawan. Pada saat itu, Masjid Jami al-lslam sudah berusia lebih dari satu setengah abad.

Pada saat takmir (pengelola) masjid dipegang oleh Haji Muala pada tahun 1925 M, Masjid Jami al-Islam membuat gebrakan baru, yakni mempelopori khotbah Jumat dengan menggunakan bahasa Melayu. Seperti diketahui, pada saat itu hampir semua masjid yang ada di Betawi selalu menggunakan bahasa Arab dalam setiap khotbah Jumatnya.

Tentu saja timbul reaksi yang cukup keras, terutama dari kalangan ulama tradisional yang menilai khotbah selain dengan bahasa Arab sebagai perbuatan bid’ah.

Konon, polemik Haji Muala dengan ulama tradisional ini sampai pula ke Pemerintah Hindia Belanda. Sehingga, karenanya ia dipanggil untuk didengar keterangannya. Meskipun mendapat peringatan, tetapi ia tetap jalan dengan keputusannya berkhotbah Jumat dengan bahasa Melayu. Karena keteguhannya itu, justrubanyak masjid di Betawi yang menggunakan bahasa Melayu dalam khotbah Jumatnya.

Jika ditilik dari pendekatan politik maka Masjid Jami al-Islam yang dipimpin oleh Haji Muala sudah lebih maju tiga tahun dibanding SumpahPemuda 1928 yang menetapkan bahasa Indonesia yangberakar dari bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan Kaum Pergerakan.

Oleh karenanya, tidak mengherankan, ketika menjelang pecahnya Perang Kemerdekaan 1945, Haji Muala yang pada waktu itu sudah berusia lanjut, menjadikan Masjid Jami al-Islam ini sebagai markas pejuang yang populer dengan sebutan Kaoem Republikein. Di masjid inilah para pemuda secara sangat hati-hati mengatur strategi perang gerilya untuk mengusir penjajah.