Masjid Jami Matraman Jakarta

Diresmikan Ahli Waris Pangeran Diponegoro

masjid matraman

Kalau Anda singgah di Gedung Proklamasi yang terletak di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta Pusat, jangan lupa pula singgah ke Masjid Jami Matraman yang jaraknya hanya sekitar 300 meter dari gedung tempat diproklamasikannya kemerdekaan Republik Indonesia.

Masjid Jami Matraman ini aslinya bemama Masjid Jami Matraman Dalem yang artinya ‘masjid jami para abdi dalem’ atau para pengikut setia Kasultanan Mataram Ngayogyakarta. Tidak usah heran, Sultan Agung Hanyokrokusumo pemah mengirimkan laskar Mataram dalam upaya merebut Batavia dari tangan Kompeni Belanda. Meskipun kemudian tercatat dalam sejarah, misi Sultan Agung itu gagal karena ratusan prajurit Mataram tewas akibat wabah kolera yang mengganas, tetapi dari pihak Kompeni mengalami kerugian yang amat besar dengan gugumya pemimpin mereka Jaan Pieter Zoen Coen yang pada waktu itu menjadi Gubemur Jenderal Hindia Belanda di Batavia (Betawi).

Daerah yang dahulunya menjadi tempat bermukim prajurit- prajurit Kasultanan Mataram, oleh orang Betawi disebut Matraman (asal kata Mataraman). Sekarang meliputi daerah sepanjang Jalan Salemba Raya di Jakarta Pusat sampai ke Pasar Jatinegara, Jakarta Timur (dahulu disebut orang Meester Comelis).

Dalam sejarah, tercatat dua kali Sultan Agung mengirimkan pasukannya ke Batavia. Setelah gagal untuk kedua kalinya, akhimya Sultan Agung menarik kembali pasukannya ke markas pusat di Yogyakarta. Akan tetapi, tidak sedikit prajurit Mataram tersebut yang enggan kembali ke markasnya. Mereka umumnya bukan prajurit reguler Kasultanan Mataram, tetapi hanya sukarelawan yang karena cintanya terhadap perjuangan dijalan Allah atau jihad fi sabilillah, ikutbergabung bersama-sama prajurit Mataram.

Setelah tidak lagi berjuang di medan perang, para prajurit sukarelawan ini pun mengalihkan perjuangannya di medan dakwah, menjadi penyebar agama Islam di seluruh pelosok-pelosok Betawi. Mereka melebur dan menikah dengan penduduk pribumi dan melahirkan generasi baru kaum Betawi yang militan.

Haji Mursalun dan Bustanil Arifin adalah dua orang di antara ratusan generasi baru keturunan prajurit sukarelawan Mataram yang lahir di Betawi, di daerah bekas kantong-kantong pemukiman laskar Mataram Ngayogyakarta. Kedua orang yang kita sebut terakhir ini adalah pendiri Masjid Jami Matraman Dalem yang sedang kita bicarakan sekarang.

Masjid ini didirikan pada tahun 1837 M dengan arsitektur yang diilhami bentuk masjid di Timur Tengah dan India. Mempunyai kubah yang besar dan menjulang, berada tepat di titik pusat. Di sebelah kiri dan kanan masjid berdiri tegak dua buah menara perlambang keagungan Islam. Wamanya yang kuning keemasan, amat mencolok, memberi kesan berani. Itu memang wama perjuangan bagi kaum yang sedang memperjuangkan kemerdekaan Tanah Aimya.

Ketika masjid ini selesai dibangun maka shalat Jumat pada saat peresmiannya, langsimg dipimpin Pangeran Jonet dari Yogyakarta, salah seorang ahli waris Pangeran Diponegoro.

Tidak mengherankan, jika dari masjid in berkumandang ajaran tauhid yang mengajak seluruh umat untuk mengabdi kepada Allah SWT secara total dengan jalan melepaskan semua belenggu “penghambaan” dari dan kepada manusia. Sebuah falsafah kemerdekaan yang amat dalam maksudnya.

Tentu saja ini tidak disenangi Kompeni sebagai penguasa pada waktu itu. Segala aktivitas masjid ini, baik shalat Jumat maupun majelis taklim, selalu mendapat pengawasan Kompeni. Pemerintah Hindia Belanda di Betawi (Batavia) menilai ajaran yang disebarkan dari masjid ini dapat membahayakanposisi mereka karena dapat membangkitkan kesadaran umat (rakyat) menentang penjajah.

Maka pada tahun 1920 beredar kabar, pemerintah akan mem- bongkar Masjid Jami Matraman Dalem ini. Beberapa tokoh masyarakat dan ulama telah dipanggil ke Hofd Bureau (badan kepolisian pemerintah Hindia Belanda) untuk menuntaskan persoalan ini. Tetapi, semua tokoh ulama dan masyarakat telah sepakat menolak mentah-mentah keinginan pemerintah tersebut. Bahkan, kedua orang pendiri masjid, yaitu Haji Mursalun dan Bustanul Arifin yang pada saat itu sudah sangat sepuh (tua), dengan gigih menggalang kekuatan umat untuk menentang maksud pemerintah membongkar masjid tersebut.

Alhamdulillah. Barangkali melihat arus penentangan yang sedemikian kuat, akhimya pemerintah membatalkan pembongkaran tersebut. Bahkan, pada tahun 1923, untuk mengambil hati dan simpati rakyat, Pemerintah Kolortial mengadakanperbaikan (renovasi) terhadap bagian masjid yang rusak.