Masjid Nurul Bahri Labuan Carik

Keadaannya Memprihatinkan

Masjid yang berlokasi di sekitar seratus meter dari pantai Labuan Carik, Desa Anyar, Kec. Kab. Lombok Baiat, NTB ini, diperkirakan dibangun pada tahun 1700 M. Atas inisiatif beberapa pedagang yang berasal dari Bone, Baladipa, dan Bugis, Sulawesi Selatan. Mereka adalah Wak Lulu, Wak Lindur, Wak Mandor, dan Daeng Kateruk, yang masih termasuk keturunan Kesultanan Karaeng di Makasar. Dan, makam para pendirinya hingga kini dapat kita temui di sekitar Masjid Nurul Bahri, Labuan Carik.

Labuan Carik, di mana tempat masjid ini berada, dahulunya me¬rupakan tempat persinggahan bagi para pedagang yang membawa barang dari Sulawesi. Konon, waktu itu Pulau Lombok mengalami musim paceklik karena harta benda penduduk dirampas oleh Kompeni.

Untunglah pada saat itu datang para pedagang membawa barang- barang seperti piring, kaleng (guci), dan bahan-bahan makanan ke Lombok menggunakan perahu layar, yang menurut Burhanuddin, pengurus Masjid Nurul Bahri, Labuan Carik kala itu tidak ubahnya seperti pasar kecil yang selalu ramai dikunjungi oleh para penjual dan pembeli barang yang datang dari berbagai daerah di Pulau Lombok dan Sumbawa serta Sulawesi.

Melihat keramaian seperti itu, serta belum adanya sarana peribadahan, timbul niat para pedagang yang datang dari Sulawesi untuk mendirikan sebuah masjid sebagai tempat beribadah. Ketika itu kondisi masyarakat Lombok Utara, tepatnya di Kecamatan Tanjung, Gangga, dan Bayan, masih jauh dari ajaran agama Islam yang sebenarnya. Mereka masih menganut kepercayaan animisme.

Jadi, kata Burhanuddin yang masih keturunan para pendiri Masjid Nurul Bahri, para pendatang dari Sulawesi, selain berdagang juga menyebarkan Islam kepada masyarakat sekitarnya.

Jumat Pertama

Masjid yang semula berukuran 11 x 10 m itu telah direnovasi pada tahun 1913 M. Ukurannya pun diperkecil menjadi 8×8 meter persegi. Dan, menurut Burhanuddin yang juga menjabat sebagai penghulu Labuan Carik, Masjid Nurul Bahri merupakan satu-satunya masjid yang menyelenggarakan shalat Jumat di wilayah Bayan. Di masjid inilah pertama kali umat Islam di Kecamatan Bayan mengenal shalat Jumat.

Sepeninggal pendiri masjid ini, satu demi satu para pedagang yang berasal dari Sulawesi kembali ke kampung halamannya. Kini, yang tinggal di sekitar masjid ini tidak lebih dari 10 kepala keluarga. Mereka umumnya bekerja sebagai nelayan.

Kendati demikian, masjid yang memiliki empat tiang penyangga dari kayu itu, tidak pernah sepi dari jamaah terutama pada hari Jumat. Hal ini, menurut Burhanuddin, dilakukan mengingat wasiat pendirinya bahwa berapa pun jumlah jamaah yang hadir, walaupun tidak cukup semukim, jangan sekali-kali meninggalkan shalat Jumat di masjid ini. Wasiat inilah yang hingga sekarang masih dipegang teguh oleh Burhanuddin dan masyarakat sekitarnya.

Memprihatinkan

Masjid yang terletak sekitar satu kilo meter dari jalan raya Desa Anyar ini, kini keadaan bangunannya sangat memprihatinkan. Selain dindingnya menggunakan seng yang sudah usang, kayu di bagian atasnya juga sudah lapuk di makan usia. Demikian juga kondisi ekonomi masyarakat sekitarnya, semuanya tergolong orang-orang miskin yang mata pencariannya sebagai nelayan yang hasilnya tidak menentu.

Keadaan seperti ini sebenarnya sudah berkali-kali dilaporkan kepada pihak yang berwenang di Kecamatan Bayan. Namun, hingga kini belum mendapat tanggapan yang positif. Padahal, masjid ini adalah masjid bersejarah yang masih difungsikan untuk beribadah oleh umat Islam. Lain halnya dengan Masjid Kuno Bayan yang kini sudah dipugar dan ditata rapi oleh Pemda NTB, padahal masjid itu hingga kini sepi dari jamaah.

Sebenarnya, apa yang diungkapkan Burhanuddin itu ada benarnya. Menurut pengamatan penulis selama ini, Masjid Nurul Bahri merupakan bukti sejarah betapa gigihnya umat Islam yang berasal dari Sulawesi Selatan menyebarkan dakwah Islam di NTB, khususnya di Kecamatan Bayan. Ini terbukti dengan adanya peninggalan sejarah yang masih utuh di masjid ini berupa beduk dan mimbar yang terbuat dari kayu, yang usianya sudah hampir 300 tahun.

Di halaman masjid ini dapat kita saksikan sebuah kolam yang tidak memiliki air, penuh ditumbuhi rumput-rumput kecil yang tidak pernah dibersihkan. Sedangkan, di dekat mimbar masjid terdapat beberapa cungkup makam pendirinya. Burhanuddin mengharap kepada pihak yang berwenang agar menaruh perhatian guna melestarikan keberada¬an masjid bersejarah ini.