Masjid Syekh Mangsiangan

Warisan Panglima Perang Padri

masjid syekh mangsiangan koto lawehMasjid yang tertua di Koto Laweh adalah Masjid Tuanku Syekh langsiangan dari Kabupaten Tanah Datar atau Luhak Tanah Datar yang srletak di Kaki Gunung Tigo, berdekatan dengan Gunung Singgalang. Udaranya sejuk. Maklumlah, dataran tanahnya berbukit dan berlurah ang dalam serta jauh dari keramaian Jalan Raya Bukittinggi-Padang Panjang. Di daerah inilah di masa silam lahir seorang pejuang dan ulama bernama Syekh Mangsiangan yang ikut bertempur pada Perang Padri yang legendaris itu.

Masjid ini adalah hasil karyanya. Maklumlah ia seorang anak rjnggal, sehingga sawah ladang dan harta peninggalan orang tuanya iihibahkan untuk perjuangan mengusir penjajah Belanda dan me- negakkan Islam di Tanah Air. Orang tuanya berharap ia menjadi ulama. Oleh orang tuanya ia diserahkan pada seorang ulama, murid Syekh Burhanudin di daerah Ulakan, Pariaman.

Sekembali dari Pariaman, ia membangun masjid dengan biaya sendiri. Tenaga kerja (tukang)-nya adalah orang-orang Cina. Setelah siap digunakan, ia langsung menyelenggarakan shalat Jumat dan menyampaikan khotbah dengan semangat berapi-api.

Karena sokogurunya dahulu diambil dari Gunung Tigo, tentu sangat sulit membawanya walaupun denganbergotong royong. Tetapi, oleh syekh dengan sebilah rotan kecil saja, batang-batang kayu tersebut meluncur membelah bumi dengan laju sampai di tempat ini.

Masjid yang dibangun sekitar tahun 1800 M itu sudah tiga kali direnovasi. Ketika pertama kali dibangun, atapnya terbuat dari ijuk, kemudian diganti dengan daun rumbia (aren), dan terakhir dengan atap seng. Bentuknya lancip ke atas dengan corak arsitektur khas Cina. Sedangkan, dinding, tiang, dan lantainya terbuat dari kayu. Sampai kini masih utuh. Kondisi terawat baik.

Ramai Diziarahi

Syekh Tuanku Mangsiangan yang lahir pada tahun 1771 ikut ber- tempur pada Perang Padri sampai terbunuhnya pada tahun 1833. Perang Padri berkobar antara tahun 1821-1837 atau 1839 dan berakhir di Lembah Bawan. Lembah Bawan jatuh ke tangan musuh di tahun tersebut. Tuanku Mangsiangan selaku panglima perang bersama Tuanku Nan Gapuk divonis tembak mati. Bersamanya ikut ditembak mati 15 orang pengikutnya. Sedangkan, prajuritnya yang lain dibuang entah ke mana. Ia dihukum mati tahun 1833 M dan dikuburkan di Guguk Sikundang, masih di daerah Koto Laweh, sekitar 1.500 meter dari Talan Raya Bukittinggi-Padang Panjang, Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat.

Masjid peninggalannya ini sangat dihormati oleh masyarakat, karena kedudukan Tuanku Syekh Mangsiangan sebagai ulama besar dan mempunyai banyak karomah dan bertuah. Setiap minggu banyak peziarah datang ke masjid ini dan dilanjutkan ke pekuburan. Mereka biasanya membawa makanan, seperti ayam dengan nasi kunyik dan kue-kue.

Peziarah yang datang dari jauh ada yang berkendaraan atau berjalan kaki. Cukup unik bagi masyarakat makan bersama di pekuburan. Karena banyak diziarahi orang, akhirnya ia dipindahkan. Termasuk juga masjidnya, kini tampak megah.

Selain membangun masjid, Tuanku Syekh juga membangun oesantren yang sampai kini masih berjalan, bahkan kini dibuka SMP Islam. Untuk melestarikan nilai sejarahnya, bentuk fisik masjid tidak boleh di ubah, sekalipun Pemda sudah memberikan sumbangan RplO juta. Rupanya, ninik mamak belum mengizinkan.

Kini, masjid sudah mempunyai kolam untuk mengambil wudhu. Airnya dari puncak gunung, tidak pakai air PDAM. Di samping itu, masjid juga sudah mempunyai beton plaza, kamar mandi, dan lainnya. Dengan hasil ziarah itulah, banyak pengunjung memberikan infak sedekah untuk memperoleh berkahnya. Di sana ada panitia bertugas menyambut para tamu yang datang.