Masjid Raya Makassar
Kemegahan untuk Menyatukan Umat
Selain sebagai salah satu masjid terindah di kawasan Indonesia Timur, Masjid Raya Makasar juga merupakan saksi bisu sejarah bagi masyarakat Makassar yang pada masa penjajahan selalu dipecah belah menjadi berbagai golongan, aliran, dan organisasi agar tidak bersatu menghimpun kekuatan. Usaha untuk membangun masjid besar yang bisa menampung ribuan jamaah pun selalu dihalang-halangi.
Kekhawatiran penjajah kala itu memang terbukti. Setelah masjid ini digunakan pada Agustus 1949 terjadi sentralisasi kekuatan umat Islam untuk melawan penjajah. Sentralisasi ini dimulai dari bersatunya aktivitas beribadah umat setelah sebelumnya tercerai berai di sejumlah masjid-masjid kecil.
Masjid ini memang sudah didesain besar dan megah sejak awal pendiriannya. Konon seorang jurnalis asing yang mengunjungi masjid ini pada tahun 1949 menulis bahwa inilah masjid terbesar di di Asia Tenggara saat itu. Bangunan induknya saja dapat menampung hingga lO.OOOjamaah dan jika digabung dengan halaman masjid, bahkan dapat mencapai 50.000 jamaah.
Pertama kali dirancang oleh arsitek Muhammad Soebardjo setelah memenangi sayembara yang digelar panitia pembangunan Masjid Raya. Kala itu, Soebardjo menampilkan bentuk menyerupai badan pesawat terbang. Ini terinspirasi dari pengamatannya terhadap masyarakat Makassar yang tengah dihantui ketakutan karena pesawat pengebom B-29 yang selalu melayang-layang di atas kota.
Selang tiga puluh tahun kemudian, Masjid Raya sudah mulai rapuh dan bocor di beberapa bagian, terutama di atap dan kubah. Dari hari ke hari, struktur keseluruhan bangunan semakin terpengaruh. Beberapa kali renovasi parsial sempat dilakukan, namun tidak menghasilkan bangunan yang solid, kokoh, dan optimal.
Terhitung sejak Februari 2009, perombakan besar-besaran atas bangunan masjid ini pun dimulai dengan konsep dasar untuk menjadikan bangunan Masjid Raya Makassar menjadi lebih kokoh, megah, indah, dan modern.
Hasil pembaruan itu dapat dinikmati sekarang. Masjid yang megah dan indah ini sekilas mirip dengan masjid dari Timur Tengah karena memiliki sentuhan arsitektur mediteranian.
Dengan kombinasi tiga warna dasar; krem yang mencirikan warna alam (natural) dan cocok dipadukan dengan warna apa saja, hijau yang melambangkan keislaman, serta hitam (warna Kabah), masjid yang 80% bahannya asli Sulawesi Selatan tersebut terlihat sangat asri.
Dari segi konstruksi, Masjid Raya Makassar memanjakan jamaah sehingga dapat menikmati sejuknya udara Makassar. Masjid dirancang terbuka, tak berdinding laiknya kebanyakan masjid di Makassar dan sekitarnya. Kalaupun ada penghalang, hanyalah tiang baja yang dibungkus dengan batu alam paras Yogyakarta.
Daya tarik lainnya adalah dua buah menara yang masing-masing bertinggi 47 meter (menara lama) dan 66,66 meter (menara baru) pelambang jumlah ayat dalam Kitab Suci Al-Quran. Menara pertama terletak di sebelah kiri bangunan utama, usianya sama dengan Masjid Raya. Adapun menara kedua yang membutuhkan waktu enam bulan dalam proses pengerjaannya, dibuat dengan bahan dasar baja yang membuatnya lentur walau pergerakannya halus sehingga tak kasat mata.
Dari sisi interior, barisan keindahan kaligrafi menghiasi dinding dan langit- langit Masjid Raya Makassar. Kaligrafi itu dibuat oleh Syaharuddin, juara kaligrafi tingkat nasional asal Sulsel. Kaligrafi ini tidak lagi hanya menjadi perekat struktur, melainkan menjadi daya tarik bagi Masjid Raya.
Di dalam, tampak mihrab dengan, bentuk yang sangat menarik. Bagian atas mihrab seluruhnya berhias Asma’ul Husna. Menurut tim arsiteknya, ini terinspirasi bentuk khas ornamen arsitektur di Cordoba, Spanyol.