Masjid Jami Indrapuri Aceh Besar

Berawal dari Sebuah Candi

masjid jami indrapuri aceh besarInilah sebuah masjid yang berdiri arena proses evolusi kebudayaan dan sekaligus revolusi ideologis. Disebut evolusi karena terjadinya perubahan dari candi (tempat ibadah umat Hindu) menjadi masjid berlangsung secara alamiah tanpa kekerasan, setelah melewati kurun panjang perubahan budaya sebuah komunitas (masyarakat).

Daerah Istimewah Aceh yang dikenal sebagai Serambi Mekah, dahulunya sebagaimana daerah lainnya di Nusantara adalah sebuah daerah yang dikuasai imperium Hindu. Di daerah yang menjadi lokasi Masjid Jami Indrapuri ini kurang lebih 25 km ke arah Umur Banda Aceh, pada sekitar abad ke-12 M telah berdiri sebuah kerajaan Hindu, yaitu Kerajaan Lamori.

Di pusat kerajaan itu banyak berdiri candi-candi, antara lain Indrapatra, Indrapurwa, dan Indrapuri. Yang disebut terakhir ini adalah sebuah candi yang dikhususkan bagi kaum wanita. Konon yang menurut empunya cerita, pembuatan candi ini menghabiskan lima ribu butir telur ayam sebagai bahan perekat (pengganti semen). Meskipun pada saat ini kita sudah tidak dapat lagi menyaksikan bentuk Candi Indrapuri secara utuh, tetapi ada beberapa bagian masih tampak tersisa, yakni tembok tebal yang mengelilingi masjid. Dari plester tembok yang sebagian sudah tampak terkelupas itu, kita dapat melihat bahwa Candi Indrapuri terbuat dari batu hitam yang dibuat lempengan berukuran panjang sekitar 40 cm, lebar sekitar 20 cm, dengan ketebalan sekitar 5 cm. Sampai sekarang masih berdiri kokoh.

Lalu, bagaimana sehingga candi ini bisa berubah menjadi masjid? Dikisahkan kemudian, datanglah ke daerah itu seorang penyebar agama Islam yang bernama Abdullah Kan’an bergelar Tengku Abdullah Lampeuneuen, berasal dari Peureulak, Aceh Timur. Ia datang bersama Meurah Johan, seorang pangeran, putra mahkota Kerajaan Lingga (di daerah Jambo Aye sekarang). Tujuannya tidak lain, mengajak agar raja bersama segenap rakyat Kerajaan Lamori memeluk agama Islam.

Kebetulan pada saat itu Kerajaan Lamori kedatangan gerombolan bajak laut Cina yang dipimpin seorang wanita bernama Putroe Neng (Putri Neng). Meskipun cantik, Putri Neng kesohor sebagai pimpinan bajak laut yang kejam dan bengis. Seluruh anak buahnya memiliki ilmu beladiri yang amat tinggi. Kedatangan Ratu Bajak Laut itu ke Kerajaan Lamori, tidak lain ingin menjadikan kerajaan itu sebagai negeri taklukan Tentu saja Baginda Raja Lamori menolak mentah-mentah keinginan itu.

Maka, perang pun tak dapat dihindari. Menghadapi bajak laut yang sudah berpengalaman, tentara kerajaan pun terdesak hebat. Dalam
keadaan yang kritis seperti itu, Tengku Abdullah Lampeuneuen dan Meurah Johan menawarkan bantuan. Dan, tawaran itu pun diterima
dengan baik.

Singkat cerita, dengan kekuatan keramat (karomah)nya sebagai seorang Waliyullah, akhirnya gerombolan bajak laut itu pun dapat dikalahkan dan dihalau. Sebagai ungkapan terima kasih, Baginda pun dengan sukarela menjadi penganut agama Islam. Setelah itu, seluruh rakyat mengikuti jejak rajanya. Setelah menjadi muslim dan kerajaannya resmi menjadi Kerajaan Islam (1205 M), oleh Tengku Abdullah Lampeuneuen, Baginda diberi gelar Sultan Alaiddin Johansyah Dhilullah Fil’alam.

Akan halnya candi-candi tadi tetap dibiarkan berdiri. Tidak ada yang berani mengusiknya. Karena rakyat sudah tidak ada lagi yang beragama Hindu maka candi-candi itu menjadi tidak terurus. Bahkan, Candi Indrapatra dan Indrapurwa runtuh karena proses alamiah. Sedangkan, Candi Indrapuri masih kokoh. Atas dasar supaya tidak mubazir (sia-sia) maka rakyat pun mengusulkan kepada sultan agar candi itu dimanfaatkan sebagai masjid.

Usul rakyat diterima baik oleh sultan. Maka, setelah dilakukan pembersihan dari segala patung atau arca para dewa Hindu, Candi Indrapuri pun resmi digunakan sebagai masjid jami, Dan, kemudian sejarah mencatat bahwa Kerajaan Lamori yang telah diislamkan itu, pada masa Sultan Iskandar Muda (1606-1636 M) takluk dalam kekuasaan Kerajaan Aceh Darussalam.

Karena bentuknya yang mirip candi, Kanwil Depdikbud Daerah Istimewa Aceh pada tahun 1986 mengusulkan kepada Pemda agar Masjid Jami Indrapuri ini dijadikan sebagai “cagar budaya” dengan pengertian mengembalikan fungsinya sebagaimana semula, yakni sebagai candi. Isu ini sempat menghangat dan mendapat reaksi keras tokoh-tokoh Islam di Aceh. Alhamdulillah Pemda memperhatikan aspirasi umat sehingga sampai hari ini Masjid Jami Indrapuri masih berdiri kokoh, memanggil umat sujud kepada Allah SWT.