Masjid Gholo Bayat Klaten
Didirikan oleh Ki Ageng Pandanaran
Masjid ini didirikan di atas perbukitan yang tandus. Konon menurut cerita, dahulunya masjid tersebut didirikan di puncak Jabalakat (Gunung Jabalakat). Hal ini dimungkinkan untuk menghindari pengusiran dan gangguan. Oleh masyaraskat sekitarnya untuk menyebutkan kata golok(artinya yang dilemparkan kemudian menancap di tanah) agak kesulitan. Akhirnya, mereka (masyarakat menyebutnya dengan nama “gholo”. Masjid ini sekarang terletak di Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.
Meskipun masjid ini terbilang tua, namun kekokohan bangunannya masih tampak jelas. Masjid ini dibangun sekitar abad ke-16, berukuran 8 x 8 m dan telah mengalami renovasi dua kali. Yang pertama pada tahun 1980 oleh Departemen Agama dan Dinas Purbakala Depdikbud. Letak bangunan masjid 300 m dari makam Ki Ageng Pandanaran, persis di tepi jalan sebelah kiri dan arah Klaten ke Bayat dengan ketinggian lebih kurang 20 meter dari jalan.
Menurut cerita masyarakat sekitarnya, masjid ini masih dihuni jin yang bernama Muhammad Harun. Pernah salah seorang yang tidur di dalam masjid, dipindahkan ke tempat lain (di luar masjid di bawah pohon). Dan, sampai saat ini masih ada bukti peninggalan sejarah yang asli, yaitu beduk dan gentong untuk tempat air wudhu. Masjid Gholo atau Masjid Ki Ageng Pandanaran, selain digunakan untuk shalat Jumat, juga aktif menyelenggarakan kegiatan dakwah, sepeti pengajian rutin dan peringatan hari-hari besar Islam.
Pertemuan Wali Songo
Konon,- suatu ketika Wali Songo berkumpul di Masjid Agung Demak, Jawa Tengah. Mereka bermusyawarah mencari figur pengganti Syekh Siti Jenar yang baru saja dihukum mati. Sidang tersebut hampir mengalami kegagalan, kalau bukan karena Sunan Kalijaga. Saat itu, ia memberanikan diri memberi usul agar menyetujui dan memutuskan Bupati Semarang sebagai figur pengganti Syekh Siti Jenar.
Usul tersebut membuat kegaduhan di antara para wali. Mereka neran, bukankah Bupati Semarang terkenal amat kikir? Bukankah kehidupannya sudah dipengaruhi harta benda? Namun, sidang berhasil memutuskan walaupun sedikit mengalami gangguan yang pada intinya para wali menyetujui usul tersebut dengan syarat Sunan Kalijaga yang melakukan pendekatan.
Amanat itu pun diterima dan Sunan Kalijaga segera pergi ke Semarang untuk menemui bupati. Dengan menyamar sebagai pengemis, Sunan Kalijaga menyaksikan sang bupati yang juga dikenal dengan nama Ki Ageng Pandanaran, sedang asyik menghitung uang di depan rumahnya.
Dengan sikap garang sang bupati melemparkan sekeping uang logam kepada pengemis. Si pengemis yang tidak lain adalah Sunan Kalijaga, menolak pemberian itu. Bahkan, sebaliknya si pengemis mencangkul sebongkah tanah dan melemparkannya kepada sang bupati. Peristiwa itu membuat sang bupati terkejut dan heran, karena bongkahan tanah tersebut telah berubah menjadi sebongkah emas mumi.
Sadar
Sejak kejadian tersebut, menurut versi Babad Demak, bupati sadar dan ingin berguru kepada Sunan Kalijaga. Keinginan tersebut dapat diterima dengan syarat bupati mau menjalankan ibadah seumur hidup dan mau menyebarkan agama Islam di kalangan masyarakat Semarang dan sekitarnya dan bersedia membayar zakat serta melakukan shalat lima waktu.
Setelah Ki Ageng Pandanaran bersedia memenuhi syarat tersebut maka menurut D. A. Rinkers dalam bukunya De Heiligen Van Java, ia diangkat menjadi mubalig setelah beberapa waktu mengajar. Ia kemudian mendapat amanat dari Sunan Kalijaga pergi ke suatu tempat, yaitu Desa Tembayat. Demi mematuhi perintah gurunya, akhirnya ia menetap di Desa Tembayat yang terletak kurang lebih 10 km dari arah Klaten ke selatan. Desa Tembayat terletak di daerah perbukitan tandus dan termasuk daerah miskin.
Untuk urusan kekuasaan dan perdagangan diserahkan kepada saudaranya yang paling tua. Begitulah sekilas yang ditulis oleh H.J. De Graaf dan Th. G. Piguet dalam De Earste Moslime Vorstendommen ofjava. Di Tembayat inilah ia mulai menyebarkan agama Islam, dan kemudian oleh Sunan Kalijaga diberi nama kehormatan sebagai “Sunan Tembayat”. Berkat ilmu dan kesalehannya maka ia dimasukkan sebagai anggota Wali Songo.
Sunan Tembayat merupakan figur rohani bagi kaum bangsawan. Ia seorang guru agama dan ulama sufi. Ia rela melepaskan jabatan, harta benda, dan perdagangannya. Berkat kesalehannya, sehingga membekas pada seorang pendeta yang berhasrat menjadi santrinya, antara lain Bengawan Wasibango yang berpengaruh terhadap syiar Islam.