Masjid Air Mata Kupang
Berpindah dari Satu Tempat ke Tempat Lain
Masjid itu kini bemama Masjid Air Mata. Tidak diketahui dengan jelas, mengapa nama itu terpatri pada bangunan rumah Tuhan itu Apakah karena ia bertempat di Desa Air Mata, yang diarabkan menjad: “Baitul Qodim”? Apakah secara kebetulan riwayat hidupnya yang demikian? Hanya masjid itu yang merasakannya karena sering berpindah merangkum beberapa nyawa manusia dalam menyembah Allah SWT. Sebenarnya Masjid Air Mata ini, sejak dibangun tetap berukuran 10 x 10 m persegi.
Berpindah karena Tergusur
Masjid ini sejak pertama kalinya sudah ditangani oleh orang-orang yang memang sebagian hidupnya mengabdi pada masjid. Betapa tidak, ketika mulai dibangun tahun 1806, tangan-tangan dari Haji Birandubin Tahir (imam masjid itu), bersama Mustafa Thaha, Eang Bau Thalib, Abdurrachman Abdul Kadir Thalib (staf imam masjid), dan Haji Abd. Rahman Mustafa (khatib), yang sebelumnya pertama kali dibangun di kota Kupang sekarang, di Kelurahan Oeba.
Masjid ini merupakan pusat semua kegiatan agama Islam pada awal mulanya. Untuk pertama kali, shalat Jumat dilaksanakan tahun 1812. Artinya, setidaknya masjid itu selesai dibangun tahun itu. Masjid pertama yang berlokasi di Pantai Besi itu, namun berpindah karena digusur oleh Belanda.
Pertapakan masjid itu akan dipergunakan membangun gedung telegrafis Belanda. Kaum muslim di Oeba dan sekitar itu memindahkan masjid ini ke arah baratnya, sekitar muara Sungai Kupang yang lahannya menjadi Kanwil Departemen Perdagangan Kupang di Jalan Soekarno.
Masjid ini berpindah lagi ke tempat lain karena lahan untuk penjara tidak ada maka di bekas masjid itu didirikan penjara atau lembaga pemasyarakatan (istilah sekarang).
Menurut Belanda, letak masjid itu tidak sesuai dalam tata kota masa itu maka terpaksa pindah-gusur lagi, dari sini (bangunan Penjara Kupang) ke tempat lain yang harus pindah menyeberangi sungai, ke sebuah lembah yang biasanya memiliki mata air yang banyak. Sesudah ber-pindah-gusur beberapa kali, barulah masjid itu berada dan berdiri anggun di tempatnya yang sekarang, yang diberi nama oleh masyarakat setempat dengan nama Masjid Air Mata.
Jika dipikir secara filosofis, tentulah masjid ini mengeluarkan “air mata” karena sering berpindah akibat terpaksa digusur demi kepentingan penjajah Belanda di masa Kolonial.
Pada petapakan masjid yang sekarang, ada tiga keluarga yang bertempat tinggal, yakni putra dari pemberi tanah wakaf untuk lahan masjid itu, putranya Moyang Syahan. Ketiga putranya yang masih ada di tanah yang sudah diwakafkan itu, bukan tidak mempunyai tugas dimasjid itu.
Ketiga anaknya itu bemama Putra Birando bin Sya’ban yang bertugas sebagai imam masjid, Putra AbduUahbin Sya’ban sebagai khatib dan Putra Bofrk bin Sya’ban sebagai muazin/bilal.
Moyang Sya’ban, tidak hanya mewakafkan tanah, bahkan anaknya juga “diwakafkan” untuk mengabdi kepada Masjid Air Mata.
Didirikan oleh Nenek-Nenek
Masjid yang sekarang diberi nama Baitul Qodim atau Masjid Air Mata, dibangun oleh moyang (nenek) Sya’ban bersama tiga orang moyang lainnya, yaitu Moyang Syamsuddin, Moyang Arkiang, dar Moyang Barkat.
Bahan-bahan bangunannya seperti pasir diambil dari tepi panti , kemudian dicuci dengan air tawar, sedangkan semennya dari kapur yang dibuat sendiri (dibakar sendiri). Bahkan, perekatnya, pereka: “semen” kapur itu digunakan gula pasir atau kalau kurang digarit: dengan air nira (air pohon enau yang disadap di tangkai bunganya).
Kayu tidak sepotong pun berasal dari Kupang sendiri, tetapi secara bergotong-royong dicari masyarakat Islam ke pulau-pulau sekitarnya atau dihanyutkan dari hulu sungai.
Demikian luhur keikhlasan umat mendirikan masjid “tempo doeloe”. Akan adakah kebersamaan seperti itu pada generasi mendatang?