Masjid Al Muqarrabin Labala
Menjadi Pusat Penyebaran Islam di Lembata
Labala adalah sebuah desa kecil yang terletak di selatan Pulau Lembata dan tidak banyak diketahui orang. Selain letaknya yang terisolasi, pulau ini juga tidak mempunyai obyek wisata yang menarik. Untuk sampai ke daerah ini, kita harus menempuh perjalanan sekitar tujuh jam dengan perahu motor dari Larantuka, Ibu Kota Kabupaten Flores Timur (Flotim) atau sekitar delapan jam dari kantor Pembantu Bupati Flotim untuk Lembata di Lewoleba.
Perahu motor merupakan sarana perhubungan satu-satunya di pantai selatan Lembata ini. Sementara, perhubungan darat belum banyak membantu karena daerahnya berbukit-bukit. Namun, di balik keterasingan ini, Labala menyimpan berbagai kenangan indah masa kejayaan tempo dulu, misalnya sebagai pusat Kerajaan Lembata (Hindu) tempo dulu yang dibuktikan dengan peninggalan berupa prasasti bertuliskan huruf Jawa atau Kawi, yang oleh masyarakat setempat disebut Ata Jawa sebagai kepala pemerintahan, Baliti Hingi kepala bagian kemakmuran. Sedangkan, bagian keamanan disebut Demong Gede.
Prasasti ini lebih populer dengan sebutan Berkah Kerama dan selalu ditempatkan pada yang lebih tinggi dalam rumah adat. Setelah kemerdekaan, Labala menjadi pusat pemerintahan Hamente dan pada masa Orde Baru dengan adanya pemekaran desa, Labala berganti nama menjadi Desa Gaya Baru Leworaja sampai kini.
Membangun Masjid
Masuknya Islam di Labala tidak diketahui secara pasti, namur berdasarkan prasasti di atas mihrab masjid dapat terbaca tulisan Arar Melayu bahwa Masjid Labala didirikan pada tahun 1923 M atas prakarsa Raja Labala dari Dinasti Mayeli, anak dari Raja Baha. Sedangkan, arsiteknya adalah Haji Olong Koli dari Desa Kampung Gorang Lamahala.
Dalam kegiatan berdakwah, Raja Labala mendapat bantuan dari raja-raja Islam di Pulau Andonara dan Pulau Solor, seperti Raja Ratuloit dari Lemahala, Raja Terong dari Terong, Raja Lohayong, dan Raja Lamakera. Dari Raja Lamahala dikirim seorang dai keturunan Cina yang bernama Baba Abdullah dan sekaligus menjadi imam masjid sampai akhir hayatnya.
Dari tangan dia inilah Islam mengembangkan sayapnya sampai ke Desa Lamanunang di bagian timur dan Desa Mulankera di bagian barat. Kini, masjid yang telah berusia sekitar 70 tahun lebih itu, telah meng¬alami dua kali perbaikan, yaitu pada tahun 1972 di bawah prakarsa kepala desa Bapak Muhammad Soap dengan mengganti atapnya yang semula ilalang menjadi seng. Kemudian, pada tahun 1995 atas prakarsa kepala Desa Samin Sado, masjid mengalami perluasan dengan menambah bagian samping kiri, kanan, dan bagian belakang sehingga mampu menampung kurang lebih 400 jamaah, sebelumnya sekitar 200 jamaah.
Biaya perbaikan pertama maupun kedua merupakan swadaya murni masyarakat setempat dan bantuan dari perantau Labala di Malaysia dan Jakarta. Pada mulanya masjid ini tidak mempunyai nama, baru pada tahun 70-an, Departemen Agama menginventarisasi masjid- masjid Indonesia dengan meminta nama-nama masjid dari seluruh Indonesia. Hal ini telah mendorong Bapak Abdullah Samiun, Kepala Madrasah Ibtidaiyah Labala, memberikan nama al-Muqarrabin.
Kini, di bawah bimbingan Imam Ilham Raja Rongan, keberadaan Masjid al-Muqarrabin ini makin semarak oleh banyaknya jamaah dan kegiatan dakwah Islam.