Masjid Batu Merah
Tempat Buya Hamka dan Bey Arifin Mengaji
Ukuran bangunan utama masjidnya hanya 10 x 15 m persegi arsitekturnya sangat sederhana, seolah rumah yang diberi cungkup sebagai kubahnya. Itu pun berbentuk kerucut beralaskan atap seng seperti piramida teriris.
Biasanya, sebuah masjid dibangun oleh orang-orang yang hanya dalam kajinya. Namun, masjid desa atau Negeri Batumerah ini dibangur. oleh seorang kaya bernama Ibrahim Safari Hatala pada tahun 1575 M.
Pada mulanya, masjid ini didirikan hanya beratapkan rumbia bertiang kayu, dengan lantai pasir putih yang diambil dari tepi pantai Laut Maluku. Memang masjid ini berada di daerah Maluku. Hatala adalah marga bagi penduduk sekitar desa tersebut yang semula penduduk pendatang dari pulau-pulau lain dan hidup hanya sebagai nelayan.
Ketika pemerintaharrdi negeri itu (desa) telah beralih kepada Hasan Hatala yang juga orang kaya, kemudian setelah memegang tampuk pemerintahan bernama atau bergelar Pati Raja Hatala, pada tahun 1605 M masjid beratapkan rumbia ini dipugar, bangunannya menjadi permanen dan beratapkan seng.
Karena pengaruh agama Islam begitu cepat berkenan di hati rakyat di wilayah itu—wilayah Huamual termasuk Luhu dan sekitamya-penganutnya kian hari kian bertambah. Melihat kemajuan agama Islam maka ketika Raja Abdurrahman Hatala vang masih keturunan orang kaya Ibrahim Satari Hatala, memugarnya untuk yang kedua kalinya di tahun 1805 M.
Boleh dikatakan, hampir semua penduduknva beragama Islam sehingga masjid ini tidak mampu lagi menampung para jamaahnya.
Hamka dan Bey Arifin
Karena kurang besarnya ruangan Masjid Batumerah ini maka raja yang memerintahkan pada zaman itu, yakni tahun 1924 M, melakukan pemugaran lagi terhadap masjid ini, dengan tidak menghilangkan bentuk aslinya yang pertama.
Pemugaran yang kedua ini dilaksanakan pada saat negeri itu di bawah Pemerintahan Raja Abdul Wahid Nurlete yang juga merupakan ulama terkenal di kawasan itu di zamannya.
Pada masa itulah Hamka ulama yang menjadi Ketua MUI pertama, dan Bey Arifin ulama kondang dan disegani di daerah Jawa Timur, pernah belajar di masjid ini. Apa yang mendorong kedua ulama besar itu belajar ke Masjid Batumerah pada masa prakebangkitan nasional, tidak diketahui secara pasti. Namun, Prof. Dr. Hamka setelah menjadi ulama besar, tidak pernah melupakan tempatnya mengaji ini. Ia pernah berkunjung ke Batumerah tahun 1939 dan kemudian tahun 1968.
Memang pemerintahan di kawasan itu tidak selamanya dipegang marga Ha tala, namun marga lain yang kawin dengan putri marga Hatala, seperti marga Nurlete. Raja Ahmad Nurlete mengadakan pe-mugaran pula pada tahun 1973 dan baru selesai pada tahun 1974, tanpa mengubah bentuk aslinya.
Namun, untuk memperindah pagar tembok yang mengelilingi masjid itu, diganti dengan pagar pilar-pilar semen kecil oleh Raja Latif Hatala pada tahun 1988.
Walaupun masjid ini jauh, namun ulamanya mempunyai kelebihan ilmu dari tempat yang lain, membuat Buya Hamka dan Bey Arifin me¬nuntut ilmu di desa yang dilingkungi ombak laut yang menggunung.