Masjid Taqwa Wonokromo
Menjadi Masjid Tiang Negara
Wonokromo, selain dikenal sebagai daerah persimpangan tujuan wisata (makam raja-raja Imogiri), juga dikenal’sebagai basis Islam yang sangat kuat. Sebetulnya masih ada daerah-daerah lain di lingkungan kota Yogyakarta yang memiliki kemiripan seperti daerah Wonokromo, misalnya daerah Kauman dan Kotagede Yogyakarta.
Desa Wonokromo tepatnya berada di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Daerah yang sangat kental dengan nuansa Islam ini, temyata juga menyimpan peninggalan aset budaya Islam berupa masjid yang berusia ratusan tahun. Di antaranya adalah Masjid Taqwa.
Masjid Tiang Negara
Masjid Taqwa ini keberadaanya jauh dari keramaian kota. Masjid ini berdiri bersebelahan dengan Sungai Tempuran (pertemuan antara beberapa anak sungai). Pada waktu-waktu tertentu, Desa Wonokromo menjadi pusat keramaian.
Walaupun tampak terawat baik, masjid ini tidak diketahui kapan berdirinya. Banyak orang memperkirakan usia Masjid Taqwa ini di bawah usia Masjid Agung yang berada di Kampung Kotagede.
Data lain adalah ukiran-ukiran ayat suci yang berada di sepanjang bangunan masjid tersebut, memiliki kemiripan dengan yang ada di Masjid Agung Kotagede dan Masjid Kauman yang berada di sebelah barat Keraton Yogyakarta.
Beberapa data yang dihimpun dari lapangan, Masjid Taqwa ira berkaitan dengan pendirian Kerajaan Mataram—sebelum pindah ke daerah Kotagede—pertama kali berada di daerah Pleret. Kampung Pleret ini berada tepat di sebelah timur Sungai Tempuran.
Sebetulnya, di pusat pemerintahan Kerajaan Mataram yang pertama ini rencananya akan didirikan sebuah masjid. Tetapi, pendirian masjid tersebut dibatalkan dan untuk seterusnya didirikan di Kampung Kotagede Yogyakarta.
Bahkan sebagai bukti sejarah, di daerah bekas pemerintahan Kerajaan Mataram tersebut ditemukan beberapa buah umpak (alas yang terbuat dari bongkahan batu yang diukir untuk tempat tiang penyangga masjid) yang tertinggal (tertanam) dalam tanah.
Beberapa warga masyarakat sekitar Wonokromo meyakinibahwa Masjid Taqwa ini merupakan salah satu dari sekian masjid yang dinamakan Masjid Tiang Negara. Masjid tiang negara ini memilik; pengertian bahwa masjid tersebut berfungsi sebagai simbol kekuatan negara (Kerajaan Mataram).
Syahdan, Sultan Mataram pada waktu itu meminta nasihat kepada para pemuka masyarakat yang ada di Dusun Pleret yang terdiri atas para kiai. Sultan Mataram pada waktu itu menanyakan perihal bagaimana mengamankan daerah Mataram.
Para kiai mengusulkan agar sultan membuat beberapa masjid yang berfungsi sebagai cagak negara (tiang negara). Atas usul para kiai Wonokromo tersebut akhirnya dibuat empat buah masjid yang mengurung Kerajaan Mataram (sekarang Yogyakarta).
Masjid yang pertama dibangun pada waktu itu adalah Masjid Taqwa yang berada di daerah Wonokromo ini, kemudian dilanjutkarn masjid yang berada di Desa Mlingi, Minggiran (daerah Bantul).
Selanjutnya, masjid ketiga adalah Masjid Ploso Kuning yang berada di daerah Ploso Kuning lereng Gunung Merapi. Yang terakhir adalah Masjid Wotgaleh yang berada di daerah Godean Yogyakarta.
Versi lain, ada yang mengatakan, sebenamya Masjid Taqwa ini tadinya berupa sebuah Pendopo Kabupaten. Berhubung pembangunan pendopo ini tidak diteruskan maka disepakati untuk diubah menjadi sebuah masjid.
Tidak Memiliki Kekhususan
Biasanya, masjid yang memiliki usia ratusan tahun selalu dikaitkan dengan adanya kekuatan di luar kekuatan manusia (mistik atau supranatural), seperti kekuatan mistik dari kekuatan beduknya, mimbarnya, dan lain sebagainya.
Namun, beberapa orang yang dimintai konfirmasi menepis anggapan kalau masjid tersebut memiliki pusaka yang tersimpan di dalam Masjid Taqwa tersebut atau angker dan lain sebagainya. Mereka meyakini hanya semata-mata peninggalan warisan para pemimpinnya (kiai-kiai) sebelumnya.
“Masyarakat di sini lebih mementingkan ilmu agama daripada cerita klenik (mistik) semacam itu,” ungkap Moh. Kholik, salah seorang warga yang penulis temui waktu itu. Walaupun tidak dipungkiri bahwasanya di daerah Wonokromo ini sarat dengan kegiatan-kegiatan kebudayaan, misalnya peringatan Rabu Pungkasan (Rabu terakhir), yakni kegiatan yang berupa mandi beramai-ramai di Sungai Tempuran untuk mohon rezeki.