Masjid Jami Al Atiq Kampung Melayu Besar
Didirikan oleh Sultan Banten yang Pertama
Tidak banyak yang menduga, keberadaan Masjid Al-Atiq yang berlokasi di Jalan Masjid I Kampung Melayu Besar, Jakarta Selatan ini adalah peninggalan Maulana Hasanuddin, Sultan Banten pertama yang pusat pemeiintahannya berada di daerah Banten Lama. Perlu diketahui, Sultan Maulana Hasanuddin adalah putra Syarif Hidayatullah dari istiinya Ratu Kaurig Anten.
Melihat bentuk arsitektur masjid yang berdiri pada abad ke-16 ini, tampak pada atap bangunannya yang bersusun dan lambang panah sebagai simbol bersejarah seperti beberapa masjid yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur, antara lain Masjid Demak, Masjid Sunan Giri, dan Gresik.
Kesamaan itu di antaranya adalah bentuk atap masjid sebelumnya yang tidak menggunakan genteng dari tanah liat, melainkan kayu sirap. Anehnya, peninggalan bersejarah seperti omamenbagian langit-langit yang terdapat di dalam masjid, raib entah ke mana rimbanya. Ada yang mengatakan, telah diamankan oleh Dinas Museum Pemda DKI Jakarta.
Berdirinya Masjid Al-Atiq konon bertepatan dengan berdirinya masjid yang berada di Banten dan Karang Ampel, Jawa Tengah, se- hingga dikatakan sebagai cabang masjid yang didirikan oleh Sultan Maulana Hasanuddin, namun, masjid tersebut merupakan bangunan yang terakhir penyelesaiannya.
Mengikuti perkembangan zaman, masjid ini telah beberapa kali direnovasi, kendati luas masjid sebelumnya dapat dilihat pada batas keempat tiang yang berdiri kokoh di dalamnya. Pada tahun 1619, ketika VOC masih berkuasa, keadaan bangunan masjid sangat memprihatinkan. Maka, ketika pengikut Pangeran Jayakarta tengah menelusuri Batavia melalui Sungai Ciliwung dengan menggunakan perahu, salah satu rombongan secara kebetulan melihat sebuah bangunan masjid yang tidak terpelihara, bahkan nyaris roboh, sehingga akhimya rombongan segera memutuskan untuk menetap di wilayah itu, sekaligus memperbaiki bangunan masjid yang telah ada sebelumnya.
Keterangan lain yang pemah dituturkan oleh jamaah Masjid Al- Atiq dari generasi ke generasi, konon masjid ini merupakan tempat persembunyian Si Pitung dan Ji’ih, jagoan Betawi yang terkenal karena membela rakyat kecil dan menentang Kolonial Belanda saat itu, setelah melarikan diri dari penjara Meester Comelis (kini Jatinegara) pada tahun 1890-an. Si Pitung dan Si Ji’ih disembunyikan di masjid ini selama berbulan-bulan atas perintah mualim (kiai) setempat.
Keramat Benda Pusaka
Salah satu benda pusaka yang terdapat pada masjid ini adalah tongkat yang berada di dekat rnimbar yang biasa digunakan khatib saat khotbah Jumat. Tongkat yang terbuat dari kayu jati tersebut memiliki keunikan dan kisah tersendiri.
Pernah suatu ketika datang seorang wanita tua entah berasal dari daerah mana seraya menuju mimbar dan mendekati mimbar tersebut Secara diam-diam, wanita itu tengah berusaha mengerik kulit kayu pada tongkat itu ke dalam kantung miliknya.
Melihat gelagat dan tingkahnya, Pak Umang selaku pengurus masjid menegur dan menanyakan tentang maksud dan keperluannya mengerik kulit kayu tongkat yang ada di situ Wanita itu lalu menjelaskan. bahwa maksud perbuatarmya tersebut adalah sebuah upaya untuk mengobati suaminya yang sedang sakit keras.
Berbagai upaya dilakukan untuk usaha pengobatan, mulai dari dokter sampai orang pintar. Bahkan lebih dari itu, ia harus pergi ke negeri India. Namun, usahanya itu tetap saja tidak membawa hasil. Suatu ketika wanita itu bertemu dengan orang pintar. Kemudian, orang pintar itu menyarankan kepadanya agar mencari masjid tertua yang ada di Jakarta.
Rupanya, masjid yang dimaksud adalah Masjid Al-Atiq Kampung Melayu Besar atau yang dulu dikenal dengan Kampung Kandang Kuda karena sebagian penduduk wilayah itu banyak memiliki kuda dari kusir sebagai mata pencariannya.
Di antara pesan khusus orang pintar tadi adalah menemukar. serbuk kayu pada tongkat yang ada di masjid tersebut. Setelah mengikuti anjuran tadi, temyata ramuan itu manjur dan mujarab, sehingga penyakit suami wanita tersebut berangsur-angsur sembuh.
Kekeramatan lain pada masjid ini adalah terjatuhnya seekor burung berbulu buruk ketika hendak melewati kubah masjid yang di atas atapnya terdapat simbol panah yang menghadap ke langit.
Beberapa waktu lalu, tepatnya tahim 1996, saat Jakarta dilanda musim hujan deras, Masjid Al-Atiq yang konon pernah disinggah: Presiden Soekamo untuk melakukan shalat, pernah mengalami kebanjiran hingga dua meter lebih. Sehingga, masjid yang telah berlantai dua ini menjadi tempat penampungan para penduduk setempat.
Akibat musibah itu, tidak hanya bangunan masjid yang mengalami kerusakan, tetapi juga seluruh dokumentasi turut lenyap ditelan banjir Hal ini dapat dimaklumi, mengingat lokasi masjid tak lebih dari tiga meter dari tepi Kali Ciliwung.