Masjid Al Mujahidin Bengkulu

Sisa Kebesaran Raja Pesisir Bangkahulu

masjid al mujahidn bengkulu

Sejarah Bengkulu mencatat, Masjid Al-Mujahidin ini merupakan salah satu masjid kuno bersejarah yang erat kaitannya. dengan perjuangan rakyat dan raja-raja pesisir Bangkahulu dalam melawan penjajah.

Masjid yang berdiri sekitar tahun 1850 ini, dahulunya berdiri di sekitar pemandian (batang air), atau tempat pemandian dangkal, yaitu suatu tempat pemandian para dewa, karena di sekitar tempat tersebut banyak terdapat sumur-sumur tua. Di areal lokasi masjid ini, dulunya menjadi arena “sabung ayam”.

Bentuk asli bangunan masjid ini awalnya masih sangat sederhana, seluruhnya terbuat dari bahan kayu, seperti halnya rumah penduduk waktu itu. Sekitar tahun 1920-an dimulailah perbaikan bangunan masjid yang agak berarti.

Jika sebelumnya, lokasi masjid berada di tepi sungai, maka pada saat diperbaiki dipindahkan kurang lebih 100 meter maju ke depan, dekat dengan perkampungan penduduk. Orang yang pertama kali membangun (tahun 1920) adalah seorang pemuka masyarakat setempat yang bernama H. Setir.

Masjid ini berdiri di atas tanah berukuran 17 x 16 m dengan luas bangunan 10 x 10 m persegi dan masuk dalam wilayah Keluraha Pasar Baru, kurang lebih 2,5 km dari pusat keramaian kota Bengkulu. Tepatnya di sekitar perkampungan para nelayan Pasar Bengkulu. Dahulu kurang lebih 175 meter dari masjid ini berdiri sebuah benteng bersejarah peninggalan Kolonial Inggris, yaitu Benteng York (Fort York) yang sekarang tertimbun oleh tanah.

Masjid bersejarah yang sederhana ini banyak menyimpan nilai sejarah masa silam tentang perjuangan rakyat Bengkulu. Menurut catatan sejarah, perkampungan penduduk di lokasi masjid ini dahulu- nya merupakan kampung pelarian orang-orang buangan dari Sulawesi Selatan, yaitu suku Bugis. Hingga sekarang sisa-sisa pengaruh Bugis (seperti gelar kebangsawanan) masih sangat kental di daerah perkampungan nelayan ini.

Dinamika

Menurut catatan, sekitar tahun 1981 terjadi bencana alamberupa naiknya gelombang pasang air laut sampai menenggelamkan rumah penduduk dan berpengaruh terhadap mata pencarian penduduk yang mayoritas nelayan. Masyarakat kalang kabut menyelamatkan diri ke Pasar Bukit. Sebagian ada yang pindah ke Kuala Lemping (Kuala Lempuing).

Tahun 1980-an sempat pula terjadi konflik di masyarakat yang bersumber dari perbedaan khilafiyah (perbedaan paham mengenai masalah fikih) antara “Kaum Tua” (Islam tradisional) dan “Kaum Muda’ (aktivis Muhammadiyah). Alhamdulillah, berakhir dengan perdamaian di tangan pemerintah.

Jika dilihat dari dekat, masjid ini masih tetap memantulkan ke- sederhanaannya. Sisa-sisa sejarah yang masih bertahan adalah empat buah pilar yang terbuat dari sejenis kayu ulin. Masjid ini didominasi wama putih dan biru.

Kurang lebih 40 meter di belakang masjid ini terdapat aliran sungai yang bermuara di Kampung Klawi. Dan, sekitar 300 meter di depar. masjid ini terbentang Pantai Jagad yang terkenal karena mitos ceritanya yang berkembang di masyarakat setempat.

Masjid ini berdaya tampung 300 jamaah. Selama pembangunan masjid bersejarah ini telah mengalami renovasi sebanyak empat kali Dananya berasal dari swadaya masyarakat setempat. Kegiatan masjid cukup marak, seperti kegiatan RISMA Al-Muj ahidin dan pengajian tiap bulannya.