Masjid Jami Al Hidayah

Menjadi Markas Pejuang

Masjid Jami al-Hidayah ini terletak di Kaliabang Bungur, tepatnya di kawasan perempatan Jalan Kompleks Seroja Bekasi. Dibangun pada tahun 1935 oleh para tokoh agama yang mempunyai pandangan revolusioner, seperti K.H. Noer Ali (almarhum), Ust. Burhanuddin, H. Thoha, dan lain-lain.

Pada awalnya, masjid ini bemama Masjid Jami an-Nur, dibangun di atas tanah wakaf seluas 4000 meter persegi dari H. James danbeberapa orang lainnya. Kondisi bangunannya amat sederhana karena kondisi sosial-ekonomi umat yang pada waktu itu amat memprihatdnkan akibat penjajahan. Lantainy’a pun hanya tanah yang di atasnya diberi alas tikar pandan dengan daya tampung sekitar 70 orang. Meskipun demikian, masjid ini merupakan salah satu markas yang dijadikan basis untuk menggembleng para pemuda Islam menjadi cikal bakal laskar Hizbullah/ Sabilillah yang amat ditakuti penjajah.

Oleh karenanya, tidak heran jika pihak Belanda maupun Jepang sama-sama mencurigai aktivitas umat Islam Bekasi yang diadakan di masjid ini. Seperti yang dituturkan Ust. Burhanuddin, generasi pertama pengurus Masjid al-Hidayah ini. Ia pemah ditangkap serdadu Belanda ketika sedang mengajar di masjid. Pasalnya, ada laporan yang sampai ke pihak Pemerirttah Kolonial bahwa ia menerangkan tafsir Al-Qur’an yang berkenaan dengan kewajiban jihad bagi orang-orang yang beriman.

Seperti diketahui, Pemerintah Kolonial Belanda melarang keras kepada siapa saja yang berani menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Melayu. Apalagi bila ayat-ayat itu mengupas tentang kewajiban berjihad fi sabilillah yang notabene mengajak orang untuk melawan kekuasaan Belanda.

Begitupun saat Jepang menggantikan posisi Belanda dalam menjajah negeri ini, masjid ini pun tidak luput dari pengawasan yang ekstra ketat. Rupanya pihak intelijen Jepang telah mencium adanya gerakan bawah tanah yang dikomandokan dari masjid ini. Akan tetapi, sampai sejauh itu pihak Jepang tidak pemah menemukan bukti yang menguatkan laporan pihak intelijennya itu. Hal itu tidak lain karena kelihaian dan kehati-hatian para pengurus masjid yang didukung seluruh jamaah. Sehingga, dalam waktu yangbersamaan dua kepenting- an dapat diselamatkan, yaitu kepentingan siar agama dan kepentingan pergerakan kemerdekaan Tanah Air.

Setelah kemerdekaan Republik Indonesia berhasil diselamatkan maka pengurus masjid semakin berkonsentrasi memusatkan segenap renaga dan pikirannya untuk membangun masjid ini. Maka, setiap tiga ahun selalu dilakukan perluasan bangunan masjid. Lambat laun, Masjid al-Hidayah menjadi semakin permanen.

Di Masa Qrde Baru

Begitupun pada saat negara berada dalam cengkeraman komunis maka Masjid al-Hidayah ini kembali memperlihatkan peranannya yang besar dalam upaya menjaga akidah umat dari keyakinan yang menyesatkan. Di kala meletus pemberontakaruGestapu PKI atau yang lebih dikenal sabagai G/30 S/PKI maka jamaah Masjid al-Hidayah ini pun turut andil dalam memberantas orang-orang yang terlibat dalam kegiatan makar partai terlarang itu.

Setelah situasi negara kembali aman maka masjid ini pun tidak mau ketinggalan untuk ikut berpatisipasi membina umat dalam upaya mewujudkan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Di samping itu, dari segi fisik bangunannya pun semakin ditata sehingga lebih tampak indah dan menarik.

Saat itu, mulai Januari 1991 telah dilakukan renovasi (perbaikan) terhadap beberapa bagian masjid itu. Menurut keterangan Panitia Pembangunan, renovasi itu sudah menghabiskan dana sekitar Rp300 juta. Diharapkan dapat merenovasi masjid menjadi bertingkat dua dan dapat menampung lebih dari 2000 orang jamaah.